Isu Strategis Peningkatan Pelayanan Kesehatan

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Keberlanjutan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Jadi Sorotan Khusus




TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Keberlanjutan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang telah berjalan hampir empat tahun menjadi sorotan khusus pemangku kebijakan di sektor kesehatan, menyusul makin banyaknya permasalahan yang mucul dalam program tersebut.
Permasalahan-permasalahan itu antara lain defisit keuangan, tertunggaknya pembayaran kepada rumah sakit, kekosongan stok obat, disparitas infrastruktur dan pelayanan kesehatan di daerah, hingga masalah klasik seperti antrean layanan kesehatan yang panjang.
Hal itu mengemuka dalam Forum Diskusi yang digelar Center for Healthcare Policy and Reform Studies (Chapters) berjudul “Pemikiran untuk Mengendalikan Biaya dan Meningkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Masyarakat” di Jakarta, Rabu (7/2).
Hadir sebagai panelis dalam kesempatan tersebut, Chairman Chapters Luthfi Mardiansyah, guru besar ilmu kesehatan masyarakat UGM Laksono Trisnantoro, Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Andi Afdal Abdullah, Wakil Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Noor Arida Sofiana, Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Asih Eka Putri, Anggota DJSN Angger P Yuwono, dan praktisi kesehatan Rosa C Ginting.
Luthfi menilai permasalahan yang ada selama dijalankannya program JKN adalah masalah defisit keuangan serta kualitas pelayanan kepada pasien BPJS Kesehatan.
“Sebagai pemangku kepentingan kesehatan, kita semua diharapkan duduk bersama untuk berdiskusi dan merumuskan pemikiran untuk mengendalikan biaya seraya meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, itu semua guna kelanjutan program JKN. Setiap tahun sejak dijalankan JKN, BPJS melaporkan mengalami mismatch, tahun 2017 diperkirakan Rp 9 triliun,” paparnya.

Dia menjelaskan sejak 2014 sampai 2017, claim ratio setiap tahunnya di atas 100% bahkan diperkirakan 114% pada 2017. “Idealnya claim ratio tidak lebih dari 95%. Namun kita juga harus lihat, pemanfaatan program ini di kalangan populasi penerima bantuan iuran (PBI) sekitar 60% masih rendah, dari data claim ratiodisekitar 70%. Hal ini dapat menunjukkan bahwa program JKN manfaatnya hanya untuk peserta non-PBI, khususnya di kota-kota besar. Karena itu, menurut Laksono Trisnantoro, pendanaan untuk pembiayaan jaminan kesehatan masyarakat harus berkeadilan dan dibayarkan tepat sasaran serta dirasakan manfaatnya bagi seluruh masyarakat.

Idealnya, jaminan kesehatan masyarakat memberikan layanan bermutu dengan efisien. Namun, perlu disadari anggaran yang tersedia untuk sektor kesehatan itu masih sedikit.
“Jika dibandingkan antara anggaran kesehatan Indonesia dan Thailand, masih ada gap 1,5% dari GDP kita yang setara dengan Rp 180 triliun. Jadi, ekonomi Indonesia masih banyak dana yang tersedia yang bisa ditarik untuk biaya kesehatan, daripada dibelanjakan masyarakat untuk traveling dan kuliner. Oleh karena itu, secara pribadi saya berpikir untuk mendorong akses komersial guna melengkapi BPJS,” katanya.
Asih Eka Putri dari DJSN menilai salah satu cara untuk menyelesaikan berbagai permasalahan dalam program JKN adalah peningkatan anggaran kesehatan.
“Potensi dana Rp 180 triliun bisa masuk dalam program JKN, caranya dengan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) terkait JKN secara substansial. Iuran BPJS harus dihitung dengan manfaat yang dijamin,” ujarnya.
Menurut Asih, saat ini DJSN bersama tim, dari Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, Bappenas, dan dua perguruan tinggi utama yakni UGM dan UI sedang mengolah data 4 tahun BPJS kesehatan.
“Tujuannya agar bisa betul-betul menghitung kebutuhan iuran dan belanja sehingga bisa menjadi dasar untuk menyusun kebijakan iuran,” ucapnya.

Angger P Yuwono juga menilai defisit keuangan yang terjadi di BPJS Kesehatan terjadi karena biaya lebih besar dari pendapatan atau iuran. Atau dengan kata lain, defisit terjadi saat biaya lebih tinggi dari iuran.
“Padahal, di dalam biaya, masih bayak ruang yang bisa menurunkannya, banyak hal-hal yang bisa kita efisienkan. Sehingga biaya itu tidak muncul. Misalnya, dari obat, pelayanan dan lain-lain,” ucapnya.
Rosa C Ginting menilai sudah selayaknya program JKN dievaluasi dengan pengalaman empat tahun terakhir. Program JKN yang dirancang untuk menjamin kesehatan rakyat dimulai dengan niat yang bagus, namun seiring berjalannya waktu, banyak yang harus diperbaiki. “Timming-nya sekarang kita melakukan reformasi. Yang sudah baik dilanjutkan. Apa yang kurang baik diperbaiki berdasarkan pengalaman kita yang begitu kaya dalam 4 tahun ini. Sudah waktunya melakukan reformasi,” paparnya.     
Noor Arida Sofiana menambahkan pihak rumah sakit swasta sangat merasakan permasalahan yang terjadi apalagi terkait tunggakan pembayaran oleh BPJS Kesehatan. Dampaknya, cash flow RS swasta terganggu dan risiko kekosongan stok obat. “Saat ini perbedaan tarif antara RS pemerintah dan RS swasta hanya 3%, padahal RS swasta self funded dan semua biaya operasional RS pemerintah disubsidi oleh negara. Ini yang menyulitkan kami,” katanya.

Sementara itu, Andi Afdal Abdullah dari BPJS menilai program JKN yang telah berjalan memang lebih menekankan pada sisi permintaan (demand side), barulah setelah itu membenahi sisi pasokan (supply side). “Itu merupakan pilihan politik yang terjadi dari hasil kompromi. Di seluruh dunia, permasalahan seperti ini juga mengemuka,” tuturnya.
Menurut Andi, pembenahan supply side juga mesti mencakup deregulasi kebijakan pembangunan rumah sakit di seluruh daerah di Indonesia. Tujuannya agar terjadi pemerataan fasilitas infrastruktur kesehatan di seluruh Indonesia.(*)


Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Keberlanjutan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Jadi Sorotan Khusus, http://www.tribunnews.com/nasional/2018/02/07/keberlanjutan-program-jaminan-kesehatan-nasional-jkn-jadi-sorotan-khusus.

Editor: Eko Sutriyanto

Artikel Lainnya:

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :